15fUkKsZVT9yDgBv50vtln5Ad8Y63wPOAJoCaduz

Kirimkan karya

Kirim

HMJ PAI UIN WALISONGO

Labels

Cinta Pertamaku

 

Sumber: Pinterest

Berkhayal adalah hobi yang tanpa kusadari telah kulakukan sejak SMP. Seiring berjalannya waktu, kuabadikan khayalan-khayalan itu ke dalam sebuah tulisan. Aku mendapatkan gaya baru dalam berkhayal setelah mengenalmu.

Aku berkhayal dengan menikmati senja yang hendak tenggelam di dasar lautan rindunya, dengan malam yang menyimpan melankolinya. Menghisap nikotin di teras rumah, serta membisu di antara hingar bingar kehidupan.

Mengingat kembali kisah itu membuat bibirku tersenyum. Kisah itu adalah hal yang tidak akan pernah aku lupakan. Sebab kata Soekarno “Jangan sekali-kali melupakan sejarah” maka tentu aku tak akan pernah bisa lupa.

Ya, aku ingat saat itu aku duduk di bangku kelas 2 Sekolah Menengah Kejuruan. Aku yang hanya anak desa ini ingin mencoba merubah tata kehidupan menjadi lebih baik. Mengais ilmu dan pengalaman di dalam gedung yang bernama sekolah. Namun naasnya, bukan hanya ilmu yang kudapat, tetapi juga cinta.

****

“Buatlah kelompok dengan masing-masing kelompok dua orang!” tegas seorang guru si kelasku.  Dengan berani aku menunjukkmu untuk menjadi partnerku. Sorak sorai dari kawan sekilas menyertaiku yang berjalan mengahampiri meja tempatmu duduk dengan manis.

Tangan ini gemetar, saat semesta memberikan kesempatan untukku duduk di sampingmu. Tak cukup keberanianku untuk menatap mata indahmu itu. Saat kau suguhkan senyum manis yang hanya bisa kubalas dengan senyuman ragu.

Entah, aku tak tau apa yang ada di dalam kepalamu saat itu. Seorang kerdil secara terang-terangan berani memilihmu walau dengan maksud yang tersirat. Aku tak peduli dengan bisikan yang berusaha menahanku untuk tidak memilihmu. Aku keras kepala, hanya demi bisa duduk berdua bersamamu.

****

Goresan pulpen dan kertas terpadu menjadi satu menuliskan tentang dirimu. Kamu lebih cantik yang hari ini, dengan jilbab dan ciput kesukaanmu, mata sipitmu, yang dihias lengkung senyummu, serta caramu tertawa saat menggangguku. Semua itu melemahkanku.

Pada malam berikutnya, kuuji keberanianku dengan sekedar bertanya “kok belum tidur?” ketikku membalas sesuatu yang kau unggah di akun media sosialmu. Kutunggu beberapa menit, kupejamkan mataku, memusnahkan harapan bahwa beberapa pertanyaan yang kubuat malam ini tak jadi kukirimkan padamu.

“Kringg” dengan renyah hpku berbunyi. Mataku terbuka, reflek kunyalakan layar gadgetku. Ternyata pesanmu yang masuk membalas pesanku. Senyumku mengembang. Pertanyaan-pertanyaan yang beberapa menit lalu kususun, akhirnya bisa kusampaikan padamu.

“Iya nih, masih belum ngantuk,” balasmu. Berlanjut dengan basa-basi percakapan yang mungkin tak penting bagimu, tetapi bagiku Ia seperti air yang kau gunakan untuk menyiram tunas yang tumbuh di hatiku. Dan tanpa kuduga,kerudung ini cocok ga buat aku?” kau kirim wajah cantikmu dengan kerudung warna biru.

Beberapa pertanyaan datang dan mengantre untuk dicarikan jawaban. Mengapa kau kirim wajah cantikmu itu? Apakah memang benar sekedar menanyakan pendapat atau ada maksud tersirat yang ingin kau sampaikan untukku? Ataukah aku yang terlalu percaya diri? Tak mungkin bisa kujawab sendiri pertanyaan itu, apakah kamu bisa membantuku menemukan jawabannya? Seharusnya kamu bisa menjawabnya, karena pertanyaan itu atas keresahan di otakku untuk disampaikan kepadamu.

Hingga akhirnya, kuakhiri percakapan kita dengan, “selamat malam” dan kau tutup dengan, “selamat malam juga”. Tak lama setelah itu tanda online di whatsappmu menghiasi yang menandakan percakapan kita malam ini telah usai.

Percakapan memang telah berhenti, tapi tidak dengan otak dan hatiku. Seperti minum kopi, zat kafein yang bereaksi pada otak sehingga menahanku agar tak tidur. Sudah kupejamkan mata agar bisa menidurkan raga ini, bukan tenggelam di alam bawah sadar yang kudapati justru wajahmu yang terlukis di sana. Entahlah aku tak tahu, apakah jatuh cinta itu rasanya seperti ini, aku tak tahu bagaimana cara menyikapinya. Kubiarkan tubuh ini menyepi dihimpit tembok, di atas kasur melepaskan beberapa tekanan. Dan kemudian aku terlelap dengan membawa senyummu di imaji ku.

****

Pagi itu kamu terlihat murung, ku dengar kamu pagi ini telah dilecehkan oleh orang, yang ternyata adalah temanku. Kudatangi orang itu, dengan tanpa bertanya dengan penuh emosi ku Ia dengan tanganku, sampai akhirnya kami terlibat perkelahian yang hebat. Hingga kau datang dan menahanku untuk berhenti.

Kau menggenggam tanganku kemudian membawaku ke UKS karena dahiku berdarah terkena pukulan. Duniaku serasa hancur mendengar suara sendu tangismu. Ingin rasanya memeluk kepalamu sembari mengusap air matamu.

“Udah ya jangan nangis,” hanya itu yang bisa kuucap, sembari tanganku menghapus air mata yang mengalir membasahi pipi bulatmu.

Matamu menatap mataku dan tangismu malah semakin menjadi. Rasanya begitu menyayat, bagaimana tidak? Melihat orang yang kita sayang disakiti bahkan sampai meneteskan air mata. Lagi-lagi aku hanya bisa diam, lagi-lagi hanya tanganku yang bisa bergerak dengan memberikan ketenangan di kepalamu.

“Ah sial, aku tak bisa apa-apa,” gerutuku dalam hati.

 

Esoknya kulihat senyum mulai menghiasi wajahmu. Lega rasanya, kau tak berlarut dalam kesedihan.

****

Berbulan-bulan dengan sekuat tenaga, aku menyimpan perasaan ini agar tak diketahui oleh. Menyimpan dan mengabadikannya di dalam buku kuning yang kubeli beberapa bulan lalu. Buku itu menjadi saksi betapa aku menyayangimu, dalam diam. Mungkin jika dia mau berbicara, dia akan mengeluh dan bosan. Jika dia bisa berbicara, aku yakin dia akan bilang, “dasar laki-laki pengecut, menulisnya tak akan bisa membuatmu mendapatkannya, cobalah untuk menyampaikan.” Namun dia baik, dengan segala kesabarannya mau mendengar dan mengabadikan perasaanku di setiap lembarnya.

Kuakui aku memang lelaki pengecut, yang tak berani mengungkap isi hati. Karena aku takut jika kusampaikan, bukan mendapatkannya malah merusak pertemananku dengannya. Biarlah perasaan ini kupendam dahulu untuk saat ini.

Hingga akhirnya, kau mengetahui aku sedang menulis sesuatu yang mungkin sangat rahasia. Dan kau penasaran. Aku lengah, kau mengambil buku itu dariku. Kau lari, menjauh dariku, membawa perasaanku yang ada di dalam buku itu.Aku terdiam, aku tak mengejarmu, membiarkan dirimu membaca setiap kata yang ada di dalam buku itu. Hatiku berkecamuk, takut kau marah, takut…ah entahlah.

Setengah jam kau pergi, membuat hatiku gelisah. Hingga kau datang, membawa senyum bibirmu. Aku tak tahu apa maksudmu. Kau tersenyum sembari menghampiriku yang sedang duduk dengan gelisah.

“Kamu gak marah?” tanyaku kepadamu. “Enggak, kenapa marah? Aku nulis sesuatu di situ, tapi jangan dibaca sekarang, nanti aja di rumah,” ucapmu kepadaku. Kemudian kau beranjak meninggalkanku, menitipkan berbagai tanda tanya yang hinggap di kepalaku.

Aku berdiam diri di dalam keramaian, bertengkar dengan pikiranku sendiri. Apakah yang dia tulis di dalam buku ini? Apakah lampu hijau atau lampu merah? Apakah nanti dia bersamaku, atau malah semakin menjauh?

Seperti ada rakitan bom di buku itu. Aku benar-benar tak berani membukanya, takut sewaktu-waktu akan meledak. Kusimpan buku itu di dalam tas yang kupakai untuk sekolah, bersama buku-buku materi sekolahku. Kutahan nafsuku untuk membuka dan membacanya hingga menunggu waktu untuk pulang dan sampai di rumah.

 

“Hai.. aku adalah orang yang dibicarakan di halaman ke dua tuh. Jujur dari dulu aku penasaran banget dengan isi buku ini, aku dah nyuri-nyuri kesempatan buat nyari tahu isi buku ini, eh malah ketahuan terus. Dan hari ini dengan cara memaksa aku minta buku ini.

Aku terkejut, di halaman kedua isinya tentang aku. Dan aku tak menyangka dia yang biasanya aku jahili, biasa bercanda denganku, ternyata punya rasa sama aku. Jujur sih aku paham dengan kode-kode itu, tapi akunya aja yang berlagak bodoh. Sebab aku takut kalau aku nanti sakit lagi karena cinta. Tapi sih kalo aku dekat dia rasanya nyaman banget.”

Seketika kinerja jantungku serasa lebih cepat dari biasanya. Mendorong darah di pembuluh darahku untuk mengalir lebih cepat. Ada senyum yang tersimpul di hatiku dan ada juga gelisah yang terlukis di sana.

Aku merebahkan tubuhku, mataku menatap langit-langit rumah.

“Hufftttt…” apa ini, apa maksudmu, aku tak tahu. Kau bilang, kau nyaman bila di dekatku. Apa ini artinya kau mau membalas perasaanku? Atau sekedar agar aku senang? Agar aku tak kecewa?

“Aahh.., apa-apaan aku ini, tak mungkin dia mau denganku.”

Pikiran-pikiran itu berkecamuk di otakku. Kupandangi lagi tinta yang kau goreskan di lembar di  bukuku. Hingga aku terlelap, meninggalkan kamu yang ada di imajinasiku.

 

Dengan langkah yang diiringi bahagia, aku percaya diri. Meninggalkan gelisah yang kemarin bermain di kamarku. Membawa setangkai mawar merah yang kusimpan di hatiku. Menyiapkan beberapa kata untuk nanti kusampaikan padamu. Bahwa nanti akan kuucapkan, aku mencintaimu.

Langkahku akhirnya sampai di depan pintu kelas tempatmu bercanda dengan temanmu. Aku berdiri sambil memandangimu yang sedang duduk begitu cantik bagiku. Perlahan aku maju, menuju bangku yang biasa kugunakan untuk duduk.

Kubulatkan tekadku untuk menghampirimu.

“Hai, selamat pagi,” kuhampiri dirimu dengan duduk di sampingmu.

“Oh hai selamat pagi juga,” fokusmu kini beralih kepadaku.

Aku duduk di sampingmu sambil memandangimu, “ada apa?” tanyamu.

“Emm, Rin, mungkin kamu sudah tahu bagaimana sebenarnya perasaanku kepadamu,” ucapku dengan dirimu yang terpaku memandangku. Ririn itulah namanya, nama yang selama ini membuat kocar-kacir pikiranku.

“Lewat tulisan-tulisan yang kutulis itu, seharusnya kamu sudah paham. Jadi, maksudku adalah untuk pertama kalinya secara langsung, biar kusampaikan bahwa Ririn, aku mencintaimu.” Hatiku begitu bergemuruh mengucapkan kata-kata itu. Seakan matamu menyihirku untuk tak berpaling dari tatapanmu. Kamu terdiam, sedikit kurasa ada senyum yang timbul di bibirmu.

“Kii, kamu tidak bercandakan?” tanyamu padaku dengan pandangan mata yang sayu. Rifki, itulah namaku.

“Rin, adakah raut bercanda di wajahku,?” jawabku.

“Emmm, Kii, aku merasa tatapanmu begitu tulus kepadaku, kalau boleh jujur, aku nyaman bila kamu ada di sampingku, aku bahagia bila bisa mengganggumu, bisa menjahilimu, tapi aku belum sadar apa maksud dari perasaan ini. Dan ternyata kamu lebih dulu menyadarinya. Tapi kii, aku takut, aku dulu pernah sakit karena cinta.” Kau sampaikan perasaanmu dengan raut wajah memelas.

“Ririn, selama ini aku belum pernah jatuh cinta, apalagi menyampaikan perasaanku secara langsung seperti ini. Entah, akupun tak tahu dari mana datangnya nyaliku ini. Aku tak tahu kenapa aku punya rasa ini kepadamu. Aku tidak memaksamu untuk membalas perasaanku, apalagi kau pernah merasakan pahitnya cinta. Tapi satu yang harus kamu tahu, jika dirimu berjalan bersamaku, aku memang tidak bisa memberikan kebahagiaan yang sempurna, tetapi aku akan selalu berusaha menjagamu dengan segala kekuatanku.” Ucapku untuk memantapkan hatimu.

“Kii, aku tidak bisa memberimu jawaban sekarang, aku butuh waktu Kii,” ucapmu membalas kata-kata itu.

“Iya, aku tak berharap banyak darimu, karena aku tahu siapa kamu, dan aku sadar siapa aku. Aku mau keluar dulu ya,” aku berpaling darimu dengan meninggalkan gejolak resah di hatiku.

Maafkan aku, untuk siang ini kusiratkan kepadamu, “selamat berpikir dan merenung, Rin. Maaf karena terkesan memaksakan perasaanku untukmu.”

Penulis: M. Nur Kholis

Related Posts

Related Posts