15fUkKsZVT9yDgBv50vtln5Ad8Y63wPOAJoCaduz

Kirimkan karya

Kirim

HMJ PAI UIN WALISONGO

Labels

Kesadaran Ekologi Sebagai Bagian dari Kesadaran Beragama


dok. Canva

Pada setiap zaman, manusia akan selalu dihadapkan dengan berbagai permasalahan dan tugas yang harus diemban. Permasalahan dan tugas tersebut tentu akan terus berkembang dan berubah-ubah. Bagi masyarakat masa kini, tugas yang tak kalah pentingnya adalah menumbuhkan serta memupuk kepekaan dan keseriusan mereka ketika membaca peta perubahan kehidupan, mulai dari aspek sosial, budaya, politik, pendidikan, ekonomi, dan lingkungan. Jika dibandingkan dengan hanya bisa membaca teks sastra klasik tanpa mengetahui apa yang sebenarnya dimaksud oleh penulis, tugas ini mungkin lebih mulia. 

Urusan ubudiyah (ibadah mahdhah)-shalat, puasa, zakat, dan haji masih saja dipersoalkan oleh sebagian masyarakat, hal ini tentu semakin membuktikan bahwa masih minimnya kemampuan untuk membaca peta zaman, maka tidak heran jika ada banyak persoalan yang belum terselesaikan diabaikan begitu saja. Beberapa orang masih saja berdebat tentang celana cingkrang, jenggot, qunut dan perkara-perkara lain yang sebenarnya tidak perlu diperdebatkan. Mengherankan bukan? Ketika ada banyak masalah yang lebih penting: degradasi lingkungan, kurangnya moralitas, dan sebagainya, namun masih saja memperdebatkan hal semacam itu. Kita harus lebih peka dengan kondisi yang ada dan harus bisa membaca peta zaman, karena semuanya perlu disesuaikan dengan perkembangan zaman.


Masalah lingkungan hidup misalnya, masalah ini mulai bergema pada tahun 1968 ketika diangkat oleh PBB kerena ditemukannya persoalan-persoalan lingkungan yang disebabkan oleh pencemaran lingkungan. Cukup ironis ketika masalah  lingkungan tidak mendapat tempat dalam perhatian kita, padahal agama sendiri selalu menekankan bahwa menjaga dan merawat lingkungan hidup merupakan hal yang wajib. Kita lebih cenderung membicarakan hal-hal yang bersifat ritual, teologis, moralitas individual dan lain-lain, tetapi permasalahan ekologi hampir-hampir tidak pernah kita singgung, padahal lingkungan menjadi masalah yang sangat fundamental dalam kehidupan kita. 

Lingkungan adalah segala sesuatu yang mempengaruhi pertumbuhan manusia atau hewan, dan lingkungan adalah segala sesuatu yang mengelilingi organisme yang saling mempengaruhi terhadap organisme tersebut. Kehidupan ada di setiap milimeter ruang bumi, apakah manusia dapat mengamatinya atau tidak. Dunia berisi begitu banyak makhluk hidup, dari organisme bersel tunggal hingga tumbuhan, dari serangga hingga hewan laut, dari burung hingga manusia. 

Ada jauh lebih banyak hewan di dunia ini daripada manusia. Jika kita mempertimbangkan dunia flora, kita akan melihat bahwa tidak ada tempat di bumi yang tidak mengandung kehidupan. Semua makhluk yang tersebar di bumi ini memiliki sistem tubuh yang berbeda, kehidupan yang berbeda, dan pengaruh yang berbeda terhadap keseimbangan lingkungan. Ini cukup untuk meyakinkan kita bahwa menjaga lingkungan sangat penting.


Karena masyarakat tidak menjaga dan merawat lingkungan dengan semestinya, bencana terjadi di mana-mana. Bukankah banjir dan beberapa penyakit katastropik seperti Demam Berdarah (DB) juga erat kaitannya dengan masalah lingkungan. Dunia saat ini tidak hanya dipengaruhi oleh krisis ekonomi, krisis moral, krisis budaya, tetapi juga dipengaruhi oleh krisis lingkungan. Kita bisa melihat adanya banjir di berbagai wilayah di indonesia yang seakan menjadi bencana tahunan, tanah longsor, polusi dan berbagai permasalahan yang timbul karena kurangnya kesadaran kepada lingkungan. 

Yang menjadi pertanyaan, mengapa sebagian umat beragama (termasuk muslim) masih saja ada yang tidak menganggap isu lingkungan sama pentingnya dengan ibadah ritual pribadi? Mengapa sebagian umat beragama masih ada yang  tidak tertarik dengan penghijauan, pembersihan, dan kegiatan “perlindungan lingkungan” lainnya, dan mencegah berbagai madharat (ekses negatif) yang mungkin disebabkan oleh alam yang tidak sehat?. 

Di sisi lain, sebagian umat beragama lebih tertarik untuk berpartisipasi dalam kegiatan yang bersifal spiritual: pengajian, zikir bersama, istighosah, dan lainnya. Bahkan jika bencana alam telah terjadi dengan kehidupan manusia sejak zaman kuno, mengapa sebagian orang-orang beragama tidak juga memperbarui wawasan keagamaan dan teologisnya-wawasan keagamaan atau teologi yang berbasis ekologi, atau wawasan teologi ekologis?. Hal ini tentu perlu menjadi perhatian kita dalam menjalankan praktik beragama, sehingga kita sebagai umat beragama bisa mewujudkan agama yang rahmatan lil alamin dalam kehidupan sehari-hari. Kita tidak hanya mampu menjaga hubungan yang bersifat ketuhanan (ritual), tapi kita juga harus bisa menjaga hubungan dengan sesama makhluk (sosial). 

Penulis : Muhammad Najwa Maulana (HMJ PAI Angkatan 2020)

Related Posts

Related Posts