15fUkKsZVT9yDgBv50vtln5Ad8Y63wPOAJoCaduz

Kirimkan karya

Kirim

HMJ PAI UIN WALISONGO

Labels

Membangun Karakter Pendidikan yang Berkredibilitas dan Mampu Bersaing di Era 4.0

Dok. Lampung post

 “IMPLEMENTASI NILAI-NILAI SUMPAH PEMUDA DALAM

MENGHADAPI

PROBLEMATIKA PENDIDIKAN DI ERA 4.0”


Membangun Karakter Pendidikan yang Berkredibilitas dan Mampu Bersaing di

Era 4.0



Diajukan untuk mengikuti Lomba KTI

PEKAN ILMIAH SUMPAH PEMUDA

HMJ PENDIDIKAN AGAMA ISLAM

UNIVERSITAS ISLAM NEGERI WALISONGO

SEMARANG



Disusun oleh :

Ira Damayanti 1901026090

Komunikasi Penyiaran Islam

UIN Walisongo Semarang


PENDAHULUAN


        Pendidikan merupakan faktor penting kemajuan suatu bangsa. Semua seakan membutuhkan pendidikan yang menjadi kebutuhan tambahan selain sandang, pangan, dan papan. Pendidikan menjadi sorotan terutama bagi orang tua di era ini. Tapi, mengapa dengan tingginya keinginan untuk memperoleh pendidikan ini tidak membuat Indonesia memiliki pendidikan yang maju? Apa yang salah? Rupanya ada beberapa kejanggalan dunia pendidikan yang harusnya dapat diartikan dengan luas namun dipersempit maknanya hanya selingkup sekolah. Yang kemudian terjadi adalah anak-anak yang tidak mendapatkan keberuntungan bersekolah dianggap bodoh tersisihkan. 

        Mirisnya, sekolah yang diagungkan dan didewakan oleh sebagian orang pun belum tentu bisa mencetak peserta didik berkredibilitas yang cerdas, mampu beradaptasi dengan perkembangan zaman, dan juga memiliki perangai sesuai Pancasila. Tidak semua lulusan sekolah dapat bersaing di tengah era ini, apalagi sekolah yang hanya mementingkan akademik tanpa mempertimbangkan kedepannya. 

        Menurut data yang didapatkan dari laman bps.go.id jumlah lulusan univeritas yang masih menganggur sebanyak 839.091 orang di tahun 2019. Dengan angka yang cukup tinggi dapat dikatakan bahwa tingginya tingkat pendidikan yang ditempuh bukan merupakan jaminan seseorang akan mendapatkan pekerjaan. Kemudian, menurut data dari kpai.go.id bahwa kekerasan anak pada jenjang pendidikan pun dapat tercium yang mayoritas terjadi pada jenjang SD/ sederajat sebesar 67 persen pada bulan Januari-April 2019. Hal tersebut sangat disayangkan, mengingat sekolah merupakan tempat penanaman moral.

        Bahkan sekolah berlabel dan ternama pun masih belum bisa menjamin daya saing peserta didik di tengah kehidupan yang sesungguhnya. Para peserta didik dan tenaga terdidik pun hanya bahu membahu untuk menuntaskan kurikulum tanpa benar-benar memahami makna dari pendidikan itu sendiri. Lalu, bagaimana seharusnya pendidikan di era 4.0 ini?


PEMBAHASAN 


        Pendidikan atau education merupakan sektor yang sangat berpengaruh dalam kemajuan mutu Indonesia yang diambil dari bahasa Latin Edu dan Catum. Edu berarti perkembangan dari dalam menuju keluar, sedangkan Catum berarti mengembangkan atau sedang berkembang. 

        Menurut Pusat Bahasa Departemen Pendidikan Nasional (2002:263), pendidikan adalah proses pengubahan sikap atau tata laku seseorang atau kelompok orang dalam usaha mendewasakan manusia melalui upaya pengajaran dan pelatihan, proses, cara, perbuatan mendidik.

        Pendidikan dalam artian luas percaya bahwa pendidikan adalah proses ilmiah yang tanpa rekayasa. Pendidikan dengan makna ini didukung oleh romantic yang sangat mengenang sejarah pendidikan lama yang beriringan dengan alam, dengan tokoh-tokohnya antara lain: John Holt, William Glasser, Jonathan Konxol, dan sebagainya. Dari makna tersebut melahirkan beberapa konsep, diantaranya:1

1. Long life education 

Pendidikan seumur hidup bermakna bahwa pendidikan adalah bagian dari kehidupan itu sendiri. 

2. Pendidikan alam 

Pandangan bahwa alam -kehidupan dengan ruang dan lingkungan yang berisi berbagai macam benda dan melahirkan pengalaman- merupakan tempat pendidikan bagi tiap manusia. 

        Menarik dari semua pendapat tentang pendidikan, penulis menerjemahkan bahwa pendidikan adalah proses perjalanan yang bertujuan untuk mendewasakan manusia dengan memetik pelajaran disetiap prosesnya. Ternyata selain pengertian luas pendidikan tadi, pendidikan juga memiliki artian sempit yang justru menciptakan gap yang cukup signifikan. Pendidikan dalam artian sempit ini identik dengan sekolah, yang kemudian dapat memenjarakan nalar kritis para pemuda dalam menyikapi pendidikan. Cara pandang sempit ini membatasi proses pendidikan itu sendiri. Semua program pendidikan telah diatur dalam kurikulum. Sama dan seragam.

        Cara pikir sempit ini mengacu pada teori behavior dengan B. Watson. Lester Frank Hard, dan sebagainya yang menjadi tokoh-tokohnya. Kaum ini menyakini bahwa sekolah sebagai lembaga yang menyelenggarakan pendidikan dan pesimis terhadap pendidikan yang hanya mengandalkan pengalaman hidup.2 Luasnya makna pendidikan ini pun kemudian direduksi menjadi sekolah dan dispesifikasikan dalam berbagai bidang, baik kelas, pelajaran, maupun jurusan. Mereka meninggalkan komprehensivitasnya sebagai proses kemanusiaan dan menciptakan berbagai ketimpangan. Di Indonesia sendiri, pendidikan menurut Kementrian Pendidikan dan Kebudayaan memiliki visi untuk mewujudkan Indonesia Maju yang berdaulat, mandiri, dan berkepribadian melalui pelajar yang bernalar kritis, kreatif, mandiri, beriman, bertaqwa kepada Tuhan, dan berakhlak mulia dan memiliki kebhinekaan yang global. Dan dalam pelaksanaannya pun sekolah melatih peserta didik untuk disiplin dan bersosialisasi. Yang disayangkan, sekolah kemudian dianggap sebagai tradisi bagi sebagian masyarakat. 

       Para orang tua semangat untuk menyekolahkan anaknya tinggi-tinggi untuk dijadikan ajang memenangkan gengsi dan rasa kesadaran diri pelajar untuk serius belajar pun perlahan terkikis. Mereka belajar bukan untuk kebutuhan diri, melainkan untuk mejaga eksistensi. Yang terjadi, berbagai cara mulai dari yang positif sampai negatif pun ditempuh untuk memperoleh nilai yang bagus. Masyarakat masih menerapkan acuan yang terletak pada nilai yang sebenarnya mematikan nalar kritis para pelajar. Semua pelajar di Indonesia seakan memiliki streotipe yang sama, dengan nilai bagus maka pintar dan dengan nilai jelek maka bodoh. Padahal kita tahu bahwa tiap individu memiliki kemampuan dan keunikan yang menjadi ciri khasnya masing-masing. Pendidikan di Indonesia seakan hanya mementingkan kuantitas tanpa peduli kualitas. Semua seakan dikebut sesuai dengan silabus, “yang penting cepat selesai” begitulah pemikiran beberapa oknum. Padahal, guru seharusnya membawa dan mengembangkan sistem ajar sesuai dengan kemampuan siswanya. Pendidikan monoton yang terdapat dalam kelas terkadang mebuat para siswa jenuh, lalu apa yang terjadi? Dapat ditebak bahwa dibawah energi kejenuhan sangat memberi kesulitan bagi pelajar untuk menyerap pelajaran yang disampaikan. Pendidikan Indonesia harusnya mulai mengeksplor apa yang ada di sekitar. Misalkan ketika kita belajar mengenai tumbuhan, para siswa diajak untuk mengenal tumbuhan yang ada disekitarnya.

          Ada kisah menarik yang penulis kutip dari cerita Membangun Gerakan Guru Transformatif dalam buku Oase Pendidikan di Indonesia. Kisah tersebut mengisahkan tentang para guru yang mengikuti pelatihan yang salah satunya adalah acara nonton bareng Film The School of Rock. Mr.S yang merupakan pemeran utama dalam film tersebut merupakan rocker yang berpura-pura menjadi guru pengganti di salah satu sekolah elite di Amerika. Mr. S mendobrak tradisitradisi di sekolahan dengan membuat proses belajar yang menyenangkan, tanpa menghilangkan rasa hormat murid-muridnya.

       Para guru yang mengikuti pelatihan itu kagum dibuatnya. Cerita itu pun sangat kontras jika dibanding dengan kondisi pendidikan di Indonesia yang mana guru hanya bertugas mentransfer pelajaran. Dalam pengaktualisasiannya, bukan hanya murid yang dituntut untuk menjadi kritis, guru pun harus memiliki sifat kritis karena perubahan dimulai dari pendidik bukan peserta didik. Kita hidup di era 4.0 yang bukan sekedar membutuhkan kepandaian akademik, melainkan juga membutuhkan keahlian lainnya sebagai penunjang yang kadang dilupakan oleh beberapa kalangan masyarakat. 

        Era revolusi industri 4.0 mengubah konsep pekerjaan, struktur pekerjaan, dan kompetensi yang dibutuhkan dunia pekerjaan. Revolusi industri 4.0 secara tidak langsung mengubah cara pandang tentang pendidikan Abad 21 saat ini. Bergesernya pendidikan Abad 21 saat ini tidak hanya sekadar konsep cara mengajar, tetapi jauh yang lebih esensial, yakni perubahan cara pandang terhadap konsep pendidikan itu sendiri.3

         Sistem pendidikan di Indonesia seharusnya mulai dibenahi untuk menghadapi era revolusi industri 4.0 dengan menyiapkan lulusan yang lebih kompetitif. Kita harus mulai mengembangkan literasi agar tidak hanya terbatas pada literasi lama (membaca, menulis, dan berhitung) melainkan mulai mengenal literasi baru, yaitu: literasi data, literasi teknologi, dan literasi manusia. Sistem pengajaran baku yang hanya terpaut di kelas hendaknya mulai digabungkan dengan dengan dunia nyata, project based-learning. Selain itu peserta didik juga baiknya diajar melalui general education atau ekstra-kurikuler serta mulai menumbuhkan entrepreneurship agar siap bersaing dengan dunia luar. Lalu apa saja yang harus dibenahi untuk menyambut 4.0 ini?

1. Kompetensi Pendidik 

   Perbaikan SDM khusunya pendidik adalah salah satu hal yang harus sangat diperhatikan dalam era pendidikan 4.0. Para pendidik hendaknya meng-upgrade kompetensi dalam belajar mengajar. Setidaknya ada lima skill yang harus ditingkatkan oleh para pendidik, diantaranya: educational competence (kompetensi pendidikan), competence for technological commercialization (kompetensi untuk komersialisasi tekonologi), competence in globalization (kompetensi dalam globalisasi), competence in future strategies (kompetensi dalam strategi di masa depan) , conselor competence (kompetensi konselor) 

2. Kurikulum dan Metode Pembelajaran 

Menurut Muhadjir Effendy (2018) bidang pendidikan perlu merevisi kurikulum dengan menambahkan lima kompetensi yang harus dimiliki oleh peserta didik dalam memasuki era revolusi industri 4.0. Lima kompetensi tersebut adalah: (1) Diharapkan peserta didik memiliki kemampuan berpikir kritis; (2) Diharapkan peserta didik memiliki kreatifitas dan memiliki kemampuan yang inovatif; (3) Perlu adanya kemampuan dan keterampilan berkomunikasi yang dimiliki peserta didik;(4) Bekerjasama dan berkolaborasi; dan (5) Peserta didik memiliki kepercayaan diri. 4 

3. Kompentensi siswa 

Pendidikan sekarang dituntut untuk membentuk siswa yang siap bersaing di era 4.0, dimana pada era ini sangat dibutuhkan daya nalar kritis, kemampuan literasi manusia, literasi digital, literasi data, serta memiliki kemampuan komunikasi dan kolaborasi, dan memiliki kemampuan inovasi.


PENEGASAN ULANG


        Pendidikan adalah sesuatu yang sakral dan perlu diperhatikan demi keberlangsungan kemajuan bangsa. Tapi ada hal yang perlu diperhatikan dalam pengamalan pendidikan itu sendiri. Jika pendidikan ingin diambil dengan makna luasnya, yakni pendidikan adalah proses perjalanan yang bertujuan untuk mendewasakan manusia dengan memetik pelajaran disetiap prosesnya itu sangatlah bagus. Tetapi dalam kenyataanya banyak orang yang mempersempit makna pendidikan yang hanya sebatas sekolah. 

        Tidak ada masalah mengenai pendidikan yang hanya sebatas sekolah, namun sayangnya sistem di Indonesia masih banyak yang harus diperbaiki mulai dari kompetensi pendidiknya, kompetensi siswanya, serta kurikulum dan metode pembelajarannya. Sistem pendidikan hendaknya bukan hanya mendikte untuk menjadikan peserta didik menjadi lumbung bagi para proletariat melainkan harus bisa memanusiakan diri dan sesamanya. Serta jangan lupakan perihal moral dan sopan santun yang harus selalu kita jaga. 

        Kenyataanya, kita tidak bisa tutup mata mengenai perkembangan zaman di era 4.0 ini. Kita harus menciptakan inovasi untuk mendobrak atau sekedar mengikuti kemajuan tersebut. Bangkit dari zona nyaman dengan mengembangkan model literasi dari sekedar membaca, menulis, dan berhitung menjadi literasi manusia, literasi teknologi, dan literasi data. Serta senantiasa menanam jiwa entrepreneurship agar siap bersaing dengan dunia luar. 



DAFTAR PUSTAKA 


Surani, Dewi. 2019. Studi Literatur: Peran Teknolog Pendidikan dalam Pendidikan 4.0. Prosiding                 Seminar Nasional Pendidikan FKIP, 2(1) 

Soyomukti, Nurani. 2014. Teori-Teori Pendidikan dari Tradisional, (Neo) Liberal, Marxis-Sosial,                     Hingga Postmodern. Yogyakarta: Ar-Ruzz Media

Taruna, Tukiman. 2019. Siklus Masalah Pendidikan (Indonesia). Jakarta: Kompas Media Nusantara

Tim Penulis Mitra Forum Pelita Pendidikan. 2014. Oase Pendidikan di Indonesia: Kisah Inspiratif Para         Pendidik. Jakarta: Tanoto Foundation

Related Posts

Related Posts