Pemahaman literasi digital berbasis moderasi
beragama sudah menjadi keharusan bagi generasi Z. Mengingat usia generasi ini
yang menginjak remaja menjadikan kalangan ini rentan dalam mengonsumsi media
sosial. Apalagi kelompok radikal yang dewasa ini sedang gencar memperluas
jangkauannya, tentu harus diimbangi
dengan pendidikan literasi digital yang mumpuni. Moderat merupakan sikap
beragama yang menempatkan dirinya dalam posisi tengah dan seimbang, yang mana
menafikkan sikap yang terlampau ekstrem dan fanatik dalam beragama. Penanaman sikap
moderat pada diri generasi muda sangat dibutuhkan untuk menangkal berbagai
pesan radikal yang tertuang dalam kanal-kanal digital.
Literasi digital moderasi beragama merupakan pendekatan yang memiliki fokus
analisis kritis terhadap konten-konten keagamaan yang tersebar di dunia maya.
Literasi ini sangat dibutuhkan agar generasi muda memiliki tameng dan modal
untuk memilih dan memilah isi media sosial. Al-Qur’an sebagai pedoman juga
tidak luput memberikan batasan dan aturan dalam penggunaan media sosial. Dalam
QS. Al-Hajj [22]: 30 disebutkan bahwa seseorang harus menyampaikan informasi
dengan benar tanpa rekayasa, manipulasi, dan kebohongan. Kemudian dalam QS.
Al-Hujurat [49]: 6 menjelaskan bahwa sebagai pengguna media sosial harus
senantiasa membuktikan kebenaran suatu informasi dengan cara mengecek validitas
info tersebut. Hal itu dilakukan agar informasi yang kita terima dan
disampaikan lagi kepada orang lain terjaga kebenarannya dan terhindar dari kidzib,
ghibah, fitnah, dan namimah.
Ada beberapa upaya yang bisa dilakukan untuk
mewujudkan adanya literasi digital berbasis moderasi beragama, yaitu : Pertama,
membangun perpustakaan digital sebagai rujukan dalam menyebarkan paham moderat.
Kedua, membuat group-group di media sosial untuk menyebarkan paham wasathiyyah
(keseimbangan antara keimanan dan toleransi). Ketiga, perlu dibentuknya mimbar
untuk para da’i muda dalam kanal medsos dibawah pengawasan pendakwah moderat.
Keempat, menggelorakan konsep wasathiyyah ke tengah-tengah publik melalui
berbagai sarana visual dan audio-visual di media sosial. Terakhir, mengadakan pengembangan
pendidikan Islam moderat dengan fokus penanaman toleransi baik di sekolah-sekolah
maupun lewat jejaring internet.
Literasi digital moderasi beragama juga dapat
dilatih melalui ketajaman kemampuan dalam menganalisis konten. Konten yang
termuat dalam media sosial harus dideteksi siapa penulis dan pengunggahnya. Siapa
sasarannya? Apakah ada orang yang tidak setuju dengan konten tersebut dan
mengapa demikian? Apakah alasannya dapat diterima akal? Kemudian, apakah konten
tersebut ekstrem dan tampak memihak satu golongan? Apakah telah sesuai dengan
pencasila atau malah bertentangan? Terakhir, jika menampilkan ayat dan hadis,
kesimpulannya diambil secara tekstual atau kontekstual? Pertanyaan-pertanyaan
ini kiranya cukup untuk dijadikan pertimbangan dalam menguji validitas konten di
media sosial.
Kredibilitas suatu konten di media sosial harus
diperhatikan oleh generasi Z agar terhindar dari doktrin-doktrin radikal.
Ketika mendapati konten yang bertentangan dengan ilmu yang pernah dipelajari
sebelumnya, sebaiknya didiskusikan lagi dengan orangtua, guru, maupun kyai di
lingkungan setempat. Dengan begitu media sosial tidak menjadi rujukan utama
dalam memahami agama. Setiap individu harus memiliki guru di dunia nyata agar
dapat menjawab setiap kebimbangan yang ditemukan di media sosial. Karena
sejatinya platform digital hanyalah penunjang bukan sebagai pedoman utama dalam
mempelajari ilmu agama. Fitur media sosial yang berkembang saat ini bagaikan
mata pisau yang tajam bagi penggunanya. Pisau akan bermanfaat apabila diimbangi
dengan kemampuan pemakaian yang sesuai
dengan fungsinya. Begitu pula dengan media sosial akan bermanfaat apabila penggunanya
mampu menyortir konten yang baik sehingga terhindar dari paham radikal.
Penulis : Nurul Laili