dok. Freepik
Media Sosial: Dampak Baik dan Buruknya
Pesatnya perkembangan
teknologi, yang di dalamnya salah satunya internet telah membuahkan produk
menakjubkan berupa media sosial. Lewat media sosial, penggunanya bisa saling
berinteraksi dan berkomunikasi dengan orang-orang yang dikehendaki kapan dan di
manapun, tidak terbatas wilayah, asalkan koneksi internet lancar. Kawan lama
bisa dengan mudah terdeteksi dan terhubung kembali lewat media sosial. Begitu
pun jaringan pertemanan baru bisa juga terbangun melalui media sosial.
Selain itu, media
sosial dapat pula dimanfaatkan untuk berbagai kepentingan dari mulai personal
branding, media promosi bisnis, keperluan politik, donasi untuk kepentingan
sosial, sarana penunjang pendidikan, hingga penyebaran dakwah Islam. Hal ini
mengingat media sosial yang berfungsi sebagai medium penyebaran informasi. Media
sosial juga memiliki beberapa manfaat lain sebagaimana dijelaskan di web Techmaish.com
yang ditulis oleh Ahmad (2021), yaitu dapat menjadi pemicu kesadaran untuk
senantiasa berinovasi, membantu pemerintah serta lembaga keamanan untuk
memerangi kejahatan, dan membantu dalam membangun tumbuh berkembangnya berbagai
komunitas
Akan tetapi, di samping
memiliki sederet manfaat, media sosial juga, masih dalam sumber yang sama, bisa
mendatangkan sejumlah dampak buruk. Ini tergantung siapa yang menggunakan dan
untuk kepentingan apa media sosial tersebut. Beberapa kerugian itu yakni dapat
menyebabkan cyberbullying, peretasan, kecanduan, penipuan, masalah
keamanan (melalui tereksposnya data-data diri), permasalahan dalam hubungan,
isu kesehatan baik fisik maupun mental, memicu kematian (karena terpengaruh
dengan konten yang dibagikan), terpengaruh untuk menggunakan narkoba dan
alkohol melalui akun yang diikuti (Ahmad, 2021).
Media sosial pun ternyata
menjadi alat propaganda yang sangat efektif bagi kelompok-kelompok radikalis-jihadis-teroris
untuk menyemai benih-benih pemahaman dan aksinya kepada konsumen konten. Mereka
menyenangi platform ini lantaran cakupan penggunanya yang sangat luas. Pakar
siber dan digital forensik, Ruby Alamsyah sebagaimana dikutip KompasTekno dari
AntaraNews (10/4/2017) menyatakan kalau media sosial itu terbuka untuk publik
dan penggunanya sangat banyak. Hal itu sangat mendukung tujuan mereka
(Tekno.kompas.com, 2017).
Di berbagai jenis media
sosial seperti Twitter, Facebook, YouTube, Instagram, WhatsApp, Telegram, media
micro blogging seperti Tumblr dan yang lainnya menjadi tempat propaganda
radikalis tumbuh pesat dan berhasil “mencuci otak” anak bangsa untuk
bersemangat jihad dalam perspektif kelompoknya nya yang sempit dan picik.
Tafsiran terhadap referensi berislam pun tanpa menggunakan metodologi
penafsiran yang sesuai. Hanya mengikuti hawa nafsu sendiri sebagai legalitas
tindakannya untuk mengajak orang-orang agar sepakat dengan paham yang dibawa.
Kemudahan untuk
menemukan narasi dan propaganda bernada ekstrem seperti mudah mengafirkan
orang-orang yang di luar golongannya ini pun memicu para pengguna media sosial
yang memang cenderung dengan ide-ide radikalisme Islam namun kurang memiliki
referensi keilmuan yang mendalam untuk terdorong mencari tahu lebih lanjut
gagasan-gagasan yang berkaitan erat dengan minatnya. Jadilah mereka ini dengan
hasrat menggebu dalam dirinya terus mencari informasi terkait secara mandiri di
internet. Proses ini disebut dengan swa-radikalisasi.
Menurut Sulfikar (2018) swa-radikalisasi
dengan banyaknya informasi yang tersebar secara luas di internet dan media
sosial menyebabkan potensi radikal dalam diri pelakunya jadi kian menguat.
Bedanya dengan radikalisasi, yaitu terletak pada kehendaknya sendiri, atas
dasar kesengajaan. Orang yang bersangkutan dapat sangat membahayakan kehidupan
publik karena mereka akan menjadi lonewolf terorist yang bergerak
sendiri-sendiri tanpa adanya komando dari siapapun dan tidak terafiliasi dengan
jaringan organisasi teroris tertentu. Dengan begitu, sangat sulit untuk
mendeteksi keberadaannya lantaran pola-pola penyebaran dan gerakannya tidak
terlihat jelas. Ia pun tidak sebatas mengonsumsi gagasan-gagasannya saja
melainkan sampai pada tataran yang aplikatif seperti merakit bahan peledak.
Pentingnya Kontra Narasi Konten-konten
Radikal
Media sosial kini
seakan telah menjelma menjadi kebutuhan primer bagi masyarakat modern. Tiap
hari dalam berbagai kesempatan baik senggang maupun tidak, bagi mereka yang
sudah kecanduan, sulit rasanya untuk tidak membuka media sosial barang sebentar
saja. Kebutuhan akan eksistensi diri dengan senantiasa meng-update
keseharian dilakukan secara sukarela, kalau tidak dianggap sebagai sebuah
rutinitas yang wajib hukumnya dilakukan.
Kondisi ini pun diperparah
dengan masa pandemi yang mengharuskan masyarakat untuk lebih banyak diam di
rumah demi alasan keamanan. Hal ini membuat anak muda dan remaja punya waktu
lebih banyak untuk berinteraksi dengan gawainya. Di sela-sela jam belajar, atau
saat libur tiba saat di mana waktu luang banyak tersedia, sulit untuk bisa
mengontrol situs apa yang dibuka oleh mereka, apalagi orang tua banyak yang
juga masih kurang memahami bagaimana internet dengan segala kemewahannya
bekerja, nyaris segala hal ada di dalamnya. Ditambah lagi orang tua pun terbagi
perhatiannya untuk mengawasi aktivitas anak-anaknya dengan pekerjaan.
Hal ini sejalan dengan
apa yang disampaikan oleh Boy Rafli Amar selaku Kepala Badan Nasional
Penanggulangan Terorisme (BNPT) terkait tingginya narasi-narasi radikal
akhir-akhir ini. Ia menyatakan bahwa propaganda jaringan teroris sangat tinggi
di media sosial yang juga ini rentan berdampak ke masyarakat lantaran
pembatasan sosial di masa pandemi memungkinkan mereka bisa mengakses berbagai
informasi dan konten di internet dengan leluasa (Suwanti, 2021; Santoso, 2021).
Dengan demikian, perlu
sekali menyusun fondasi mengenai nilai-nilai ajaran Islam yang moderat dan jauh
dari eksklusivitas beragama yang menjadi pintu masuk terhadap perilaku-perilaku
yang bertentangan dengan nilai-nilai Islam yang semestinya. Setidaknya ini
menjadi bekal bagi si anak untuk dapat mem-filter ajaran dan paham-paham
menyimpang yang justru menodai Islam sendiri dan membahayakan yang bersangkutan
dan lebih luasnya umat manusia.
Dalam konteks di media
sosial, peran pencegahan bisa diambil oleh lembaga pendidikan Islam seperti
pesantren, ormas-ormas Islam, kampus-kampus melalui jurusan yang terkait erat
dengan persoalan ektremisme dan radikalisme, dan organisasi lain yang juga
memiliki fokus terhadap persoalan ini di samping tentu pemerintah lewat aparat
keamanannya. Kontra narasi terhadap ajakan berbuat ekstrem dan radikal lewat
akun-akun yang memberikan edukasi lewat informasi di akun media sosial berbasis
penelitian ilmiah harus terus dilipatgandakan. Warga net harus punya banyak
alternatif konten agar tak terjebak pada progapanda menyesatkan tadi. Konten
harus dilawan konten lagi.
Apa yang dilakukan oleh
Peace Generation misalnya bisa sangat diapresiasi sekaligus dipelajari karena
memang punya concern terhadap budaya damai serta isu-isu intoleransi. Berbagai
programnya bisa diikuti sehingga kita bisa punya pengetahuan lebih untuk
menyebarkannya dalam bentuk lain dalam rangka membendung arus informasi ekstrem
dan radikal tadi.
Ada banyak akun dari
gerakan serupa yang bisa kita ikuti dan pelajari. Kalau belum bisa menjadi penyelenggara program atau pembuat konten
kontra narasi radikalisme, minimal kita dengan senang hati membagikan
konten-konten dari akun yang diikuti itu di akun kita sendiri. Itu mungkin
terlihat sepele. Namun jangan salah, itu pun bentuk kontribusi nyata kita untuk
memerangi ide dan gerakan-gerakan mereka yang hendak berbuat jahat, memecah
belah bangsa.
Membekali Generasi Muda dengan Sikap
Kritis
Kemampuan kritis ini
harus dijadikan bekal utama bagi para anak muda agar tidak mudah terjerat
rayuan konten-konten yang seolah ampuh memberikan ketenangan hati karena
selangkah lebih dekat dengan syurga-Nya. Padahal paham-paham yang tersaji lewat
propaganda di media sosial para kaum radikalis-jihadis itu tak ubahnya fatamorgana.
Tampak indah dari kejauhan, tapi saat didekati, itu hanya palsu belaka.
Jangan sampai generasi
muda kita terjerembab lebih dulu untuk akhirnya sadar kalau kekagumannya akan
militansi membela agama Allah malah disalahgunakan oleh pihak-pihak yang tak
bertanggung jawab demi melancarkan aksinya. Cukup pengalaman dari mereka yang
pernah terpengaruh lalu akhirnya menyadari bahwa keputusannya keliru serta
hasil-hasil penelitian kredibel dan terpercaya yang terpublikasi di berbagai
media menjadi pelajaran penting agar tidak sampai terbawa oleh sakaba-kaba.
Semangat beragama harus
diikuti dengan pencarian ilmu yang benar serta tak lepas dari bimbingan guru. Guru
di sini pun tidak bisa sembarangan orang dijadikan tempat bertanya dan teladan.
Harus dipastikan bahwa guru tersebut benar-benar punya pemahaman agama yang
moderat dengan keilmuan mendalam serta diiringi kebijakan dalam bersikap dan
memiliki komitmen kebangsaan yang tidak usah diragukan lagi.
Penulis : Muhammad Irfan Ilmy