15fUkKsZVT9yDgBv50vtln5Ad8Y63wPOAJoCaduz

Kirimkan karya

Kirim

HMJ PAI UIN WALISONGO

Labels

Digitalisasi Dakwah di Media Sosial : Pro dan Kontra

dok. Freepik

Media sosial saat ini merupakan hasil pengembangan media belajar ataupun dakwah yang mana hal ini lebih menarik perhatian masyarakat. Da’i-da’i saat ini berusaha memanfaatkan momentum ini untuk menyebarkan ajaran Islam dengan hal yang baru. Fenomena da’i yang melakukan dakwah di media sosial ini setidaknya didasari atas 3 hal yaitu keinginan untuk menjawab keresahan umat secara global, inisiatif invidu untuk menyebarkan ajaran Islam, dan sebagai kritik sosial terhadap permasalahan-permasalahan yang sedang terjadi. Secara tidak langsung, data ini menunjukkan bahwa antusias masyarakat muslim di Indonesia terhadap ajaran agama mereka sudah mulai meningkat yang tentunya ini akan berdampak pada kekuatan aspek spiritual dan keilmuan mereka. Namun disisi lain, fenomena ini masih menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat sehingga perlunya diskursus lanjutan dalam mengurai hal ini. Secara garis besar permasalahan pro kontra dakwah ini hanya berkutat pada aspek objek dakwah dan materi dakwah itu sendiri.

Memang secara kuantitatif, dakwah melalui media sosial ini akan jauh lebih berhasil daripada dakwah secara konvensional seperti tabligh akbar, pengajian di musola-musola, dan lain sebagainya jika kita berkaca pada objek dakwah saat ini yaitu generasi Z. Hal ini dikarenakan dakwah melalui media sosial ini dapat dikemas dan dikreasikan sedemikian rupa agar konsumen tidak merasa jenuh dengan materi dakwah yang mereka terima. Hal selanjutnya masih dari segi kuantitas sasaran dakwah ini, media sosial melalui platform instagram, whatsapp, youtube, dan facebook ini memiliki kelebihan dalam menjangkau masayarakat secara global bukan lagi lingkup lokal. Jelas hal ini merupakan suatu kemajuan peradaban Islam yang baik karena dakwah bisa terealisasi secara merata walaupun tidak secara instan. Adanya media sosial ini juga memberikan dampak positif bagi da’i-da’i untuk beradaptasi terhadap perkembangan zaman sehingga mampu menjawab tantangan kemerosotan karakter dan lemahnya pengetahuan masyarakat di dunia maya. Pemanfaatan media sosial sendiri sebagai media dakwah sejatinya menjadi penyeimbang terhadap konten-konten yang justru merusak karakter serta meniadakan fungsi ajaran-ajaran agama bagi kehidupan bermasyarakat.

Sebaliknya, dakwah melalui media sosial ini menuai kritik dan kontra oleh berbagai kalangan dikarenakan dakwah akan kehilangan esensinya sebagai strategi penyebaran ajaran Islam yang ramah. Hal tersebut bukan hanya praduga semata sebab ketika kita melihat kondisi nyata di media sosial saat ini ternyata pembuat konten dakwah sulit dibedakan antara yang benar-benar untuk tujuan amar ma’ruf atau justru mencari ketenaran. Problem ini tentunya memiliki akibat yang berkelanjutan yaitu timbulnya perdebatan-perdebatan dan perpecahan oleh golongan muslim itu sendiri sehingga yang awalnya dakwah bertujuan mencerahkan justru terkesan melakukan pembelaan atas kebenaran sepihak dan menyalahkan. Selain itu, mudahnya akses terhadap pembuatan akun di media sosial menjadi salah satu bahaya dakwah sebab setiap orang bisa dengan mudahnya membagikan informasi yang mereka sendiri tidak menguasai dispilin ilmu tersebut.

            Penyalahgunaan media sosial dalam berdakwah untuk menjatuhkan da’i ataupun ulama yang berbeda pendapat juga menjadi salah satu aspek dakwah melalui platform dunia maya ini menuai kritik. Seharusnya dalam dakwah di media sosial yang harus ditampilkan adalah Islam yang rahmatan lil ‘alamiin dengan memasukkan konten-konten yang berisi motivasi dan jawaban terhadap masalah yang muncul di masyarakat bukan masalah-masalah yang debatable. Kita bisa lihat pada iklim media sosial akhir-akhir ini justru yang terpampang adalah adu kebenaran dan saling memberikan pembelaan terhadap pendapat mereka masing-masing sehingga menimbulkan keresahan dan membuat citra Islam yang intoleran. Dakwah melalui media sosial juga rawan dengan adanya potongan-potongan statement kiai ataupun ustadz tentang isi kajian yang diberikan sehingga menimbulkan multitafsir dan kesalahpahaman bagi netizen.

Selain itu fenomena ini dapat mengakibatkan masyarakat  kehilangan etos dari suatu majelis ilmu dikarenakan kecanduan hal-hal yang berbau instan. Padahal, jika kita kembalikan pada sumber utama ajaran Islam yaitu Al-Quran maka Islam sejatinya dalam menuntut ilmu perlu adanya riwayat yang dalam hal ini kita bisa sebut guru. Jika etos majelis ilmu ini mulai memudar dalam masyarakat dan cenderung bergeser pada media sosial maka yang terjadi timbulnya kekacauan dan keancuan dalam pemahaman ajaraan Islam. 


Penulis : Muhammad Luthfi Dharmawan
Related Posts

Related Posts