15fUkKsZVT9yDgBv50vtln5Ad8Y63wPOAJoCaduz

Kirimkan karya

Kirim

HMJ PAI UIN WALISONGO

Labels

Saring Sebelum Sharing: Upaya Jitu Merdeka dari Hoax

 

dok. Freepik

Media sosial berhasil memainkan peranan penting di Indonesia. Sesuai dengan data, bahwa Indonesia telah menempati posisi ke 3 dengan penggunaan internet terbesar setelah China. Salah satu website databoks.com memaparkan bahwa jumlah pengguna masyarakat Indonesia yang mengakses youtube sebanyak 88%, disusul dengan WhatsApp sebesar 84%, instagram dengan 79%, dan facebook sebanyak 79%.  Dari presentase tersebut, dapat diketahui juga bahwa 64% masyarakat Indonesia mampu mengakses media sosial dengan durasi rata rata 7 jam 59 menit sampai 8 jam. Dari data tersebut sudah jelas betapa mudah dan seringnya masyarakat Indonesia mengakses media sosial melalui smartphone, dari kalangan gen Z hingga baby boomer pun bisa menikmatinya.

            Dengan media sosial kita mampu memproduksi pesan singkat melalui video, pesan suara, atau teks. Mudahnya berkomunikasi dengan orang lain dapat dilihat dari minim nya keterbatasan ruang dan waktu sehingga kita bisa mencari informasi atau bertukar ide kapanpun dan dimanapun. Karena interaktivitas yang tinggi dan sistem bertukar kabar yang desentralized, membuat kalangan pengguna media sosial tidak hanya mengkonsumsi informasi tetapi juga bisa menyebarkannya. Akibat informasi yang keluar masuk dengan mudah dan perilaku penggunaan media sosial pada masyarakat Indonesia yang cenderung konsumtif, membuat informasi yang benar atau salah susah dipisahkan. Sehingga dapat memberikan dampak negatif apabila hal ini disepelekan.

Dampak negatif yang dimaksud adalah maraknya penyebaran hoax dan ujaran kebencian. Unsur hoax sama seperti penipuan, biasanya pelaku penyebar hoax ini tidak memiliki motif khusus atau hanya sebagai bahan lelucon. Namun pada kenyataanya tidak sedikit pula si pelaku penyebar hoax memiliki tujuan khusus seperti mempropaganda atau memprovokasi. Banyak informasi yang biasanya ditandai dengan judul berunsur provokasi. Keuntungan yang diraih si pelaku dengan cara mengadu domba yaitu dapat mempengaruhi pola pikir individu atau masyarakat. Pada dasarnya, hoax memiliki kesinambungan informasi palsu dari individu ke individu lain yang berasal dari ketidaktahuan namun ikut menyebarluaskan hanya dengan sekali baca. Perilaku ini sudah ditandai dengan sebutan clickativism. Data Kemenkominfo menyebutkan bahwa ada 800.000 situs Indonesia yang menyebarkan informasi palsu. Di penghujung tahun 2016, kemenkominfo kembali memblokir 11 situs yang berbau SARA dan menyebabkan provokasi. Sebenarnya hal ini sudah menjadi perhatian penting baik dari pemerintah maupun dari perusahaan pemilik media sosial sendiri, dan dari para pendidik yang bergelut dibidang pengajaran moral.

Untuk mendukung pengurangan hoax juga membutuhkan bantuan dari aktor utama atau penggunanya sendiri yang biasa disebut digital native. Salah satu ciri digital native adalah menyukai hal yang praktis seperti semuanya semaunya praktis. Inilah digital native kelahiran tahun 1990 an keatas, mereka menginginkan hal yang mudah dan instan. Salah satunya yaitu mudahnya menshare suatu informasi dan menilai hanya dari satu sisi saja. Biasanya penyebab seseorang tidak berfikir jauh karena kurangnya membaca. Atau biasa disebut sebagai minim literasi. Berdasarkan data UNESCO (2021) minat baca Indonesia berada di urutan kedua dari bawah atau hanya 0,001 persen. Artinya, dari 1.000 orang Indonesia, hanya 1 orang yang rajin membaca. Padahal itu menjadi salah satu tantangan untuk mengurangi hoax.

Sedangkan kita sebagai masyarakat Indonesia memiliki tantangan dan tanggung jawab dalam bermedia sosial. Seperti bagaimana sikap kita mengambil keputusan dalam membagikan informasi. Apakah kita hanya sekali baca atau menerapkan prinsip saring sebelum sharing. Keputusan ini ada ditangan individu yang harus bisa dipertanggung jawabkan. Tidak satu atau dua kasus yang berakhir sebagai tahanan, karena penyebaran informasi hoax. Sekarang bukan hanya raga kita yang mencelakai tubuh sendiri, tapi dua ibu jari yang kita miliki juga bisa menjerumuskan ke dalam bui dengan pasal penyebaran berita palsu.

Lalu, pada saat ini fungsi media sosial mengalami pergeseran yaitu dijadikan sebagai media promosi konten atau produk suatu instansi, lembaga, atau komunitas. Contohnya, komunitas dakwah islam. Mereka berhasil memanfaatkan dengan baik media sosial. Mereka menghadirkan konten animasi, dakwah visual, feed yang berisi ajakan atau nasihat nasihat dari sahabat nabi dengan pembawaan damai dan tidak memuat hal hal yang provokatif. Seperti akun @dakwahvisual.id, @remaja.islami, dan lainnya. Dari 1.402 feed instagram akun @dakwahvisual.id, ada salah satu feed yang bertuliskan “Imam Hasan Al Bashri : Kasihan anak adam, selalu kekurangan harta tanpa pernah merasa kekurangan amal”. Akun @dakwahvisual.id yang memiliki 111.000 followers sudah semestinya mereka menerapkan prinsip apa yang kami sampaikan dapat dipertanggung jawabkan secara akurat dan tidak menimbulkan kerancuan apalagi sampai yang berisi ujaran kebencian. Karena ketika kita berani mengungkapkan sesuatu yang menimbulkan keraguan tanpa berdasarkan pedoman yang lurus akan mengakibatkan ketidakpercayaan sehingga mereka yang belum mampu berfikir tetapi sudah berani berteori. Berteori yang dimaksud dalam dakwah islam yaitu berfatwa. Padahal, orang yang sering berfatwa adalah orang yang paling sedikit ilmunya.

Diambil dari zaman peradaban Nabi sebenarnya penyebaran hoax bukan hal baru di masa sekarang. Sudah banyak kisah yang bisa kita ambil pelajarannya. Ketika itu Nabi Adam AS, mendapat berita palsu dari iblis hingga terusir dari surga. Peristiwa ini bisa dijadikan pelajaran betapa pentingnya saring, menelaah, mempelajari  lagi sebelum menyebarluaskan. Seperti kasus di Indonesia, karena terlalu percaya dengan berita, dia sendiri yang terjerat hukuman penjara. Contoh lainnya, pada masa Siti Maryam, ibu Nabi Isa yang dituduh berbuat keji dan zina karena melahirkan anak tanpa kehadiran seorang bapak. Selain itu, ada dampak buruk berita hoax yang menyeret keluarga Nabi Muhammad sendiri.

Pada saat itu, peperangan terjadi dengan Bani Mustaliq pada tahun 5 hijriah. Sudah kewajiban nya di setiap peperangan, beliau selalu didampingi istrinya yang menunggu di tenda. Pada suatu waktu Aisyah keluar dari tenda karena ada keperluan. Kembalinya Aisyah, dia tidak mendapati tendanya kembali. Akhirnya Aisyah menunggu hingga ketiduran. Setelah Aisyah terbangun dari tidurnya, dia mendapati sosok laki laki yang bernama sofyan dan menawarkan ajakan pulang. Faktanya dalam perjalanan, Sofyan menuntun onta yang dinaiki Aisyah.  Ketika memasuki mekkah, ada tokoh munafik yang terkenal. Dia adalah Abdullah bin Ubay Salul. Melihat Aisyah yang hanya berdua dengan sofyan, munculah ide keji dari kepala Abdullah bin Ubay Salul. Kemudian ia membuat berita hoax bahwa Aisyah telah selingkuh kepada sofyan. Dampak berita hoax ini menimbulkan kerenggangan antara keluarga Nabi. Hingga hampir sebulan nabi mendiamkan dan tidak menyapa Aisyah.

Kita bisa melihat betapa hebatnya dampak negatif dari penyebaran berita hoax. Jika dulu berita hoax bermula dari mulut ke mulut, dan sekarang dari jari ke jari. Dulu dari kampung ke kampung, sekarang dari akun ke akun. Terlihat pentingnya ketika otak dulu yang bekerja, sebelum jari jemari yang kita punya. Sudah saatnya kita berada di posisi pengguna yang bijak. Pengguna yang  memiliki pemikiran open minded. Dan pengguna yang mampu berfikir kritis untuk mebanding dan membedakan. Ketika pengguna sudah mencapai pemahaman pentingnya tanggung jawab dalam bermedia sosial. Sangat tidak menutup kemungkinan, angka penyebaran hoax akan menurun dan pelaku clickativism alias buka-baca-sebar juga akan berkurang. Bersama sama mensupport dan berprinsip bahwa pesan yang kita sampaikan menandakan kualitas otak yang kita punya. Karena tanggung jawab dalam bermedia sosial ada pada diri kita.


Penulis : Amelia Risma Sufrotin Nida

Related Posts

Related Posts